TINDAK TUTUR DAN KESANTUNAN BERBAHASA NOVIARISKA/AGOES HENDRIYANTO

TINDAK TUTUR DAN KESANTUNAN BERBAHASA 
NOVIARISKA/AGOES HENDRIYANTO 
Hakikat Bahasa 
Bahasa memiliki peran penting bagi kehidupan manusia. Bahasa sebagai sarana aktivitas sosial, yaitu berkomunikasi dan berinteraksi diberbagai kehidupan. Pentingnya bahasa dipertegas oleh Nababan (dalam Pamungkas, 2012:19), bahwa berbahasa itu seperti orang bernapas yang tidak pernah dipikirkan. Menurut Nababan, manusia menggunakan bahasa tatkala manusia dalam setiap kondisi. Komunikasi tidak akan terbangun, bahkan rasa sosial masyarakatpun juga sulit dilakukan tanpa adanya bahasa di sekitar manusia. Beberapa hal dapat disampaikan melalui bahasa. Bahasa merupakan alat yang efektif digunakan dalam interaksi. 


Hal senada diungkapkan oleh Kridalaksana (1984:28) yang berpendapat bahwa bahasa adalah sistem lambang arbiter yang digunakan untuk bekerja sama, berinteraksi, atau mengidentifikasikan diri. Bahasa bersifat arbitrer dikarenakan penamaan suatu benda itu tergantung pada masyarakat bahasa. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian bahasa adalah: (1) sistem lambang bunyi yang arbitrer, (2) alat komunikasi, (3) simbol bunyi yang memiliki arti serta makna, (4) digunakan oleh masyarakat untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Selain pendapat di atas, MAK Halliday (dalam Sumarlam, 2010:11-13) menjelaskan bahwa bahasa mempunyai fungsi yang amat penting bagi manusia, terutama fungsi komunikatif. Fungsi tersebut diantaranya sebagai berikut: (1) fungsi instrumental, menghasilkan kondisi-kondisi tertentu dan menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu. Fungsi ini mengingatkan pada apa yang secara umum dikenal dengan perintah atau imperatif; (2) fungsi regulasi berfungsi sebagai pengawas, pengendali, atau pengatur peristiwa atau untuk mengendalikan serta mengatur orang lain; (3) fungsi pemerian atau representasi, untuk membuat pernyataan-pernyataan, menyatakan fakta-fakta dan pengetahuan, menjelaskan, atau melaporkan realitas yang sebenarnya sebagaimana yang dilihat atau dialami orang; (4) fungsi interaksi, menjamin dan memantapkan ketahanan dan keberlangsungan komunikasi serta menjalin interaksi sosial; (5) fungsi perorangan, memberi kesempatan kepada pembicara untuk mengekspresikan perasaa, emosi, serta reaksi-reaksi yang mendalam; (6) fungsi heuristik, melibatkan penggunaan bahasa untuk memperoleh ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya dan mempelajari seluk-beluklingkungannya; (7) fungsi imajinatif, sebagai pencipta sistem, gagasan, atau kisah yang imajinatif. Menurut pengalaman nyata, bahasa selalu muncul dalam bentuk tindak tutur individu. Perasaan, ide-ide, dan pikiran disampaikan secara komunikatif melalui bahasa. Bahasa merupakan alat yang efektif digunakan dalam interaksi. Sehingga setiap telaah bahasa dimulai dari pengkajian tindak tutur. Tindak tutur merupakan perwujudan konkret fungsi-fungsi bahasa yang merupakan pijakan analisis pragmatik. 

Pragmatik 
Penggunaan bahasa dalam berkomunikasi tidak hanya berkaitan dengan ketepatan bentuk dan struktur bahasa dalam sarana linguistik. Namun juga memperhatikan kecocokan bentuk dan struktur dengan konteks penggunanya dalam sarana pragmatik. Hal tersebut digunakan untuk mempertimbangkan penggunaan bahasa pada setiap tindak tutur yang dilakukan oleh penutur dan mitra tutur. Yule (1996:3) mengungkapkan empat definisi pragmatik yaitu: (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan mengkaji makna yang dikomunikasikan oleh pembicara; (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Dengan kata lain, pragmatik adalah telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa menghubungkan kalimat-kalimat dan konteks-konteks secara tepat. Pendapat yang sama diungkapkan oleh Levinson (1983:9) yang mendeskripsikan ilmu pragmatik sebagai berikut: (1) pragmatik ialah kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa; (2) pragmatik ialah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa mengaitkan hal-hal dengan konteks yang sesuai dengan hal-hal tersebut. Dari definisi tersebut pengertian atau pemahaman bahasa menunjuk kepada fakta bahwa suatu ungkapan atau ujaran bahasa diperlukan juga pengetahuan di luar makna kata dan hubungan tata bahasanya, yakni hubungannya dengan konteks pemakainya. Perkembangan lebih lanjut tentang pragmatik memunculkan berbagai batasan. Pragmatik umum mengaitkan makna (atau arti dalam gramatikal) suatu tuturan dengan daya pragmatik tuturan tersebut. Kaitan ini dapat bersifat relatif langsung atau tidak langsung. Tugas pragmatik ialah menjelaskan kaitan antara dua jenis arti tersebut, yakni antara makna (yang sering disebut arti ‘harfiah’) dengan daya ilokusi Leech (1983:45). Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di dalam pragmatik yang juga merupakan dasar bagi topik-topik lain di bidang seperti praanggapan, perikutan, implikatur, percakapan, prinsip kerjasama, dan prinsip kesopanan. Beberapa pendapat di atas walaupun dengan peryataan yang berbeda tetapi pada dasarnya menunjukkan kesamaan pandangan, sebab kajian pragmatik mengacu pada penggunaan bahasa dalam kaitannya dengan konteks, bagaimana caranya konteks mempengaruhi peserta tutur dalam menafsirkan kalimat atau menelaah makna dalam kaitannya dengan situasi ujar. Dalam analisis pragmatik objek yang dianalisis adalah objek yang berkaitan dengan penggunaan bahasa dalam peristiwa komunikasi yaitu berupa ujaran atau tuturan yang diidentifikasi maknanya dengan menggunakan teori pragmatik. Maka, analisis tentang tindak tutur antara penutur dan mitra tutur dalam interaksi ini sangat tepat bila menggunakan pendekatan pragmatik. 

Teori Tindak Tutur 
Tindak tutur sebagai salah satu kegiatan fungsional manusia sebagai makhluk berbahasa, setiap penutur berupaya untuk melakukan kegiatan berbahasa dengan baik. Menurut Kridalaksana (2011:191), tindak tutur atau pertuturan (speech act or speech event) adalah pengujaran kalimat untuk menyatakan agar maksud dari pembicara dapat diketahui oleh pendengar. Sebuah tuturan atau tindak bahasa penutur bisa saja mendapat tafsiran yang berbeda oleh pendengar atau mitra tutur, hal tersebut karena kurangnya kesamaan pemahaman antara penutur dan mitra tutur. Searle (dalam Wijana, 2009:23-24) mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi (Locutionary Act) tindak ilokusi (Ilocutionary Act), dan tindak perlokusi (Perlocutionary Act). Namun kemudian, Searle (dalam Leech, 1982:163-166) mengembangkan jenis tuturan berdasarkan kategorinya menjadi lima, yaitu antara lain: (1) tindak tutur representatif (asertif), (2) tindak tutur direktif, (3) tindak tutur ekspresif, (4) tindak tutur komisif, (5) tindak tutur deklaratif (isbati). 

Kelima tindak tutur tersebut dijabarkan sebagai berikut: 1. Tindak Tutur Representatif Tindak tutur representatif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas hal yang dikatakannya, jenis tindak tutur tersebut disebut juga tindak tutur asertif. Tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini antara lain tuturan yang menyatakan, menuntut, mengakui, melaporkan, menunjukkan, menyebutkan, memberikan kesaksian, berspekulasi, dan sebagainya. 2. Tindak Tutur Direktif Tindak tutur direktif disebut juga tindak tutur imposif, yaitu tindak tutur yang dilakukan oleh penuturnya dengan maksud agar lawan tuturnya melakukan tindakan yang disebutkan dalam ujaran itu. Tuturan yang termasuk dalam jenis tuturan ini antara lain tuturan memaksa, mengajak, meminta, menyuruh, menagih, mendesak, memohon, menyarankan, memerintah, memberi aba-aba, atau menentang. 3. Tindak Tutur Ekspresif Tindak tutur ekspresif biasa disebut juga dengan tindak tutur evaluatif. Tindak tutur ekpresif ialah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam tuturan tersebut. Tuturan yang termasuk alam tuturan ini antara lain tuturan memuji, mengucapkan terima kasih, mengkritik, mengeluh, menyalahkan, mengucapkan selamat, dan menyanjung. 4. Tindak Tutur Komisif Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Tuturan yang termasuk dalam jenis tindak tutur ini antara lain tuturan berjanji, bersumpah, mengancam, menyatakan kesanggupan, dan berhaul. 5. Tindak Tutur Deklaratif Tindak tutur deklaratif juga disebut tindak tutur isbati, tindak tutur tersebut merupakan tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal yang baru misalnya status atau keadaan dan lain sebagainya. Tuturan yang termasuk dalam jenis tindak tutur ini antara lain tuturan dengan maksud mengesahkan, memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, mengabulkan, mengangkat, menggolongkan, mengampuni, dan memaafkan. Dari beberapa penjabaran mengenai pengertian tindak tutur di atas dapat disimpulkan bahwa sistem komunikasi, tindak tutur memiliki fungsi sesuai dengan kelompok tindak tutur yang diungkapkan. Namun dalam situasi komunikasi yang normal perilaku berbahasalah yang konfliktif cenderung bersifat marginal dan tidak memegang peranan penting. Sehingga dalam mengklasifikasikan perilaku bahasa yang sopan atau tidak sopan harus memusatkan perhatian pada kategori-kategori sopan santun yang negatif maupun positif dari tuturan tersebut. 

Kesantunan Berbahasa 
Kesantunan (politiness) adalah hal yang memperlihatkan kesadaran akan martabat orang lain (Kridalaksana, 2011:119). Prinsip kesantunan menurut Leech (1993) menyangkut hubungan antara peserta komunikasi, yaitu penutur dan mitra tutur. Mereka menggunakan strategi dalam mengajarkan suatu tuturan dengan tujuan agar kalimat yang dituturkan santun tanpa menyinggung pendengar. Prinsip kesantunan adalah peraturan dalam percakapan yang mengatur penutur (penyapa) dan petutur (pesapa) untuk memperhatikan sopan santun dalam percakapan. Hakikatnya kesantunan berbahasa merupakan etika dalam bersosialisasi di masyarakat dengan penggunaan dan pemilihan kata yang baik harus memperhatikan konteks dan situasi dengan tujuan berbicara yang santun. Secara umum, santun merupakan suatu yang lazim dapat diterima oleh khalayak umum. Santun tidak santun bukan makna absolut sebuah bentuk bahasa. Karena itu tidak ada kalimat yang secara inheren santun atau tidak santun, yang menentukan kesantunan bentuk bahasa ditambah konteks ujaran hubungan antara penutur dan mitra tutur. Oleh karena itu, situasi merupakan varibel penting dalam kesantunan. Kesantunan dalam berbahasa ditentukan pada suatu ujaran atau tuturan yang diungkapkan oleh penutur yang dimaksudkan sebagai ujaran yang santun dan dianggap santun juga oleh mitra tutur sebagai pendengar ujaran. Sehingga kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban penyerta interaksi. Leech (1993:25) mengkaji kesantunan berbahasa dari maksim percakapan tokohnya. Maksim adalah kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual, kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Selain itu maksim juga disebut sebagai bentuk pragmatik berdasarkan prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan. Maksim tersebut menganjurkan agar penutur mengungkapkan keyakinan-keyakinan dengan sopan dan menghindari ujaran yang tidak sopan. 

Prinsip Kesantunan Leech 
Di dalam model kesantunan Leech (dalam Chaer, 2010:66-69) setiap maksim interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan dengan menitikberatkan skala kesantunan atas dasar nosi: a. Skala untung-rugi, skala yang menrujuk pada biaya/cost dan keuntungan/benefit besar kecilnya keuntungan kerugian yang diakibatkan oleh tindak tutur pada pertuturan. b. Skala pilihan, skala yang merujuk urutan ilokusi-ilokusi menurut jumlah pilihan yang diberikan oleh penutur kepada mitra tutur. c. Skala ketaklangsungan, menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsung sebuah tuturan dari sudut pandang penutur. Skala ini mengurut ilokusi-ilokusi menurut panjang jalan yang menghubungan tindak ilokusi dengan tujuan ilokusi, sesuai dengan analisis cara-tujuan. d. Skala keotoritasan, merujuk pada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam suatu pertuturan e. Skala jarak sosial, merujuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Kelima skala pengukur kesantunan berbahasa tersebut didasarkan pada setiap maksim interpersonlnya. Dari pernyataan tersebut dapat dijelaskan bahwa; skala untung-rugi digunakan untuk menghitung biaya dan keuntungan untuk melakukan tindakan dalam kaitannya dengan penutur dan lawan tutur. Maksudnya, jika tuturan itu semakin merugikan penutur maka dianggap semakin santun tuturan tersebut. Namun, jika dilihat dari pihak lawan tutur, tuturan itu dianggap tidak santun. Sebaliknya jika tuturan itu semakin merugikan lawan tutur, maka tuturan itu dianggap semakin santun; skala pilihan mengacu pada pilihan yang disampaikan penutur kepada lawan tutur di dalam kegiatan bertutur, semakin banyak pilihan dan keleluasaan pertuturan, dianggap semakin santun tuturan tersebut. Sebaliknya, jika tuturan tersebut tidak memberikan kemungkinan atau sedikit pilihan bagi penutur dan lawan tutur, maka tuturan tersebut dianggap tidak santun; skala ketaklangsungan sebuah tuturan akan mempengaruhi nilai kesantunan. Semakin tuturan tersebut bersifat langsung akan dianggap tidak santun, sebaliknya apabila semakin tidak langsung maksud sebuah tuturan akan dianggap semakin santun; skala otoritasan mengacu pada jauh dekat jarak peringkat sosial. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dan lawan tutur maka tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun, sebaliknya semakin dekat jarak perangkat sosial diantara keduannya maka akan cenderung semakin berkurang peringkat kesantunan tuturan tersebut; skala jarak sosial mengacu pada hubungan sosial diantara penutur dan lawan tutur, semakin dekat hubungan sosial diantara keduannya akan cenderung kurang santun, sebaliknya semakin jauh hubungan sosial diantara keduannya, maka akan semakin santun tuturan tersebut. Dengan kata lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dan lawan tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan. Leech (1993:06-207) sendiri mendefinisikan prinsip kesantunan yaitu dengan meminimalkan ungkapan yang kita yakini tidak santun. Kesantunan didasarkan pada maksim percakapan yang akan berkontribusi terhadap strategi komunikasi yang santun, antara lain maksim kebijaksanaan (Tact Maxim), penerimaan (Generosity), kemurahan (Approbation), kerendahan hati (Modesty), kesetujuan (Agreement0, dan kesimpatian (Sympathy): a. maksim kebijaksanaan menggariskan bahwa setiap peserta pertuturan harus meminimalan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan orang lain; b. maksim penerimaan menghendaki setiap pertuturan untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri; c. maksim kemurahan menuntut setiap pertuturan untuk meminimalkan rasa tidak hormat/cacian pada orang lain dan memaksimalkan rasa hormat/pujian pada orang lain; d. maksim kerendahan hati menuntut setiap peserta pertuturan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri dan memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri; e.maksim kesetujuan menghendaki agar setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan ketidaksetujuan antara diri sendiri dengan orang lain dan memaksimalkan kesetujuan antara diri sendiri dengan orang lain; f. maksim simpati mengharuskan semua peserta pertuturan untuk meminimalkan antipati antara diri sendiri dengan orang lain dan memaksimalkan simpati antara diri sendiri dengan orang lain. Sebagai kesimpulan terhadap teori prinsip kesantunan dari Leech, Chaer (2010:61) menyatakan bahwa: a) Maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan hati, dan maksim kerendahan hati adalah maksim yang berhubungan dengan keuntungan atau kerugian diri sendiri dan orang lain. b) Maksim kesetujuan dan maksim kesimpatian adalah maksim yang berhubungan dengan penilaian baik atau buruknya penutur terhadap dirinya sendiri atau orang lain. c) Maksim kebijaksanaan dan maksim kemurahan hati adalah maksim yang berpusat pada orang lain (other centered maxim). d) Maksim penerimaan dan kerendahan hati adalah maksim yang berpusat pada diri sendiri (self centered maxim). 2. Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan a. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim) Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi kerugian orang lain dan memaksimalkan keuntungan orang lain dalam setiap kegiatan bertutur maka tuturan tersebut akan dianggap santun. b. Maksim Penerimaan (Approbation Maxim)/penghargaan Dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dalam maksim penerimaan/penghargaan ini diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, mencaci, dan merendahkan pihak lain. Peserta tutur sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan tidak sopan. Dengan demikian karena tindakan mengejek merupakan tindakan yang tidak menghargai orang lain. c. Maksim Kemurahan (Generosity Maxim) Dengan maksim kemurahan ini, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan ini akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Tidak hanya dalam menyuruh dan menawarkan sesuatu seseorang harus berlaku santun, tetapi di dalam mengungkapkan perasaan, dan menyatakan pendapat ia tetap diwajibkan berperilaku demikian. d. Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim)/kesederhanaan Diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Apabila kemurahan hati berpusat pada orang lain, maksim ini berpusat pada diri sendiri. Peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan mengurang pujian terhadap diri sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati jika di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. e. Maksim Kesepakatan/Kecocokan (Agreement Maxim) Sikap antipati terhadap salah satu peserta tutur akan dianggap tindakan tidak santun. Dalam maksim ini diharapkan para peserta tutur dapat saling membina kesepakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur masing-masing dari mereka dapat dikatakan bersikap santun. f. Maksim Simpati (Sympath Maxim) Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan kesusahan atau musibah, penutur layak berduka cita, atau mengutarakan ucapan belasungkawa sebagai tanda kesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati kepada lawan tuturnya yang mendapatkan kebahagiaan dan kedudukan. .

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KAJIAN KESALAHAN BAHASA DALAM SURAT DINAS SD KARANGNONGKO 2 KECAMATAN KEBONAGUNG KABUPATEN PACITAN TAHUN AJARAN 2013/2014 Sri Amini, Dosen Pembimbing Agoes Hendriyanto, M.Pd

PERSEPSI UJARAN

KISI-KISI UAS LINGUISTIK TERAPAN 2015/2016 AGOES