KECERDASAN INTELEKTUAL DAN KECERDASAN EMOSIONAL AGOES HENDRIYANTO, M.Pd

ARTIKEL KECERDASAN INTELEKTUAL, KECERDASAN SPIRITUAL DAN KECERDASAN EMOSIONAL 
AGOES HENDRIYANTO, M.Pd 

Kecerdasan Pengertian kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Ada juga yang mengemukan bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu : (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk beradaptasi dengan dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya. Memang, semula kajian tentang kecerdasan hanya sebatas kemampuan individu yang bertautan dengan aspek kognitif atau biasa disebut Kecerdasan Intelektual (Inteligent Quotient atau IQ). Namun belakangan ini muncul bahwa faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ). Dimana kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Penggunaan istilah EQ ini tidaklah sepenuhnya tepat dan terkesan sterotype (latah) mengikuti popularitas IQ yang lebih dulu dikenal orang. Penggunaan konsep Quotient dalam EQ belum begitu jelas perumusannya. Berbeda dengan IQ, pengertian Quotient disana sangat jelas menunjuk kepada hasil bagi antara usia mental (mental age) yang dihasilkan melalui pengukuran psikologis yang ketat dengan usia kalender (chronological age). Terlepas dari “kesalahkaprahan” penggunaan istilah tersebut, ada satu hal yang perlu digarisbawahi dari para “penggagas beserta pengikut kelompok kecerdasan emosional”, bahwasanya potensi individu dalam aspek-aspek “non-intelektual” yang berkaitan dengan sikap, motivasi, sosiabilitas, serta aspek – aspek emosional lainnya, merupakan faktor-faktor yang amat penting bagi pencapaian kesuksesan seseorang. Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cenderung bersifat permanen, kecakapan emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan dimodifikasi kapan saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan untuk meraih sukses atau prestasi hidup. Berangkat dari pandangan bahwa sehebat apapun manusia dengan kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosionalnya. pada saat-saat tertentu, melalui pertimbangan fungsi afektif, kognitif, dan konatifnya manusia akan meyakini dan menerima tanpa keraguan bahwa di luar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha Agung yang melebihi apa pun, termasuk dirinya. Kecerdasan spiritual adalah kemampuan yang dimiliki oleh individu dalam perwujudannya kepada Tuhan Pencipta Alam. Orang yang mempunyai kecerdasan ini mempunyai kecenderungan untuk bisa mengendalikan diri dari sikap yang menimbulkan kerugian bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

Penghayatan seperti itu disebut sebagai pengalaman keagamaan (religious experience) yang dalam penghayatan keagamaan tidak hanya sampai kepada pengakuan atas kebaradaan-Nya, namun juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan alam semesta raya ini. Oleh karena itu, manusia akan tunduk dan berupaya untuk mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual tertentu, baik secara individual maupun kolektif, secara simbolik maupun dalam bentuk nyata kehidupan sehari-hari. Adanya God Spot dalam otak manusia, yang sudah secara built-in merupakan pusat spiritual (spiritual centre), yang terletak diantara jaringan syaraf dan otak sehingga terjadi proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam dan kajian tentang God Spot inilah pada gilirannya melahirkan konsep Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quotient atau SQ), yakni suatu kemampuan manusia yang berkenaan dengan usaha memberikan penghayatan bagaimana agar hidup ini lebih bermakna. Jauh sebelum istilah Kecerdasan Spiritual dipopulerkan, telah berkembang pemikiran tentang upaya pemaknaan hidup. Dimana makna atau logo hidup harus dicari oleh manusia, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai : (1) nilai kreatif; (2) nilai pengalaman dan (3) nilai sikap. Makna hidup yang diperoleh manusia akan menjadikan dirinya menjadi seorang yang memiliki kebebasan rohani yakni suatu kebebasan manusia dari godaan nafsu, keserakahan, dan lingkungan yang penuh persaingan dan konflik. Untuk menunjang kebebasan rohani itu dituntut tanggung jawab terhadap Tuhan, diri sendiri dan manusia lainnya. Dengan demikian menjadi manusia adalah kesadaran dan tanggung jawab. Menurut Penelitian Daniel Goleman (2002) keberhasilan orang-orang sukses lebih banyak ditentukan oleh kecerdasan emosional yang mereka miliki yang mencapai 80 % sedangkan kecerdasan intelektual hanya berperan 20 % dalam kesuksesan mereka. Apa yang menjadi ciri-ciri orang yang memiliki kecerdasan emosional: 1) tidak merasa bersalah secara berlebihan, 2) tidak mudah marah, 3) tidak dengki, tidak iri hati, tidakbenci dan tidak dendam kepada orang lain, 4) tidak menyombongkan diri, 5) tidak minder, 6) tidak mencemaskan akan sesuatu, 7) mampu memahami diri orang lain secara benar, 8) memiliki jati diri, 9) berkepribadian dewasa mental, 10) tidak mudah frustasi, 11) memiliki pandangan dan pedoman hidup yang jelas berdasarkan kitab suci agamanya. Disini sangat kelihatan bahwa apa yang menjadi karakteristik kecerdasan emosional seseorang tak lepas dari nilai-nilai yang diajarkan oleh agama. Dalam konteks ini bisa dianalogikan bahwa orang-orang yang menerapkan nilai-nilai agamanya dalam kehidupannya sehari-hari akan memiliki kecerdasan emosional yang baik. Max Weber (1864-1920), seorang profesor berkebangsaan Jerman dalam bukunya : Die protestantische ethik und der geits des kapitalismus, menerangkan bahwa penerapan etika protestan telah membawa keberhasilan pembangunan ekonomi kapitalis di Eropa dan Amerika. Yang mana etika protestan dapat diuraikan sebagai berikut: 1) pembagian kerja yang jelas, tegas dan ketat, 2) hirarki wewenang yang jelas dan pengambilan keputusan yang tepat, 3) prosedur seleksi harus secara formal, 4) pembuatan peraturan yang rinci dan dengan penerapannya yang ketat, 5) hubungan yang didasarkan atas hubungan inter personal. Pada tahun 1958 Robert Bellah menelaah etika protestan dari Max Weber ini, di Jepang yang menganut agama TOKUGAWA dimana setelah pemboman Hirosima dan Nagasaki yang membuat segala aspek kehidupan di Jepang luluh lantah, namun dalam tempo 10 tahun lebih Jepang bisa bangkit kembali terutama dalam bidang perekonomian dan teknologi. Robert Bellah mengatakan bahwa orang Jepang telah menerapkan nilai-nilai yang ada dalam agama tokugawa yang didalamnya mengandung unsur-unsur etika protestan seperti kejujuran, kedisplinan, bekerja keras, menghargai kinerja, menghargai waktu, mengadakan evaluasi secara terus menerus, menghargai nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Dr. A.A.A Prabu Mangkunegara, Msi ahli psikologi dosen Universitas Pajajaran Bandung serta beberapa universitas di Bandung dan Jakarta, mengatakan dalam bukunya Budaya Organisasi (2005) bahwa unsur-unsur etika protestan juga ada dalam kitab suci Al quran seperti bekerja keras, bekerja merupakan mukmin yang sukses serta tak mungkin berubah nasib suatu kaum tanpa mereka harus merubah sendiri nasibnya (Al quran 13:11). Dengan demikian etika protestan yang berisi unsur-unsur kecerdasan emosional harus dijalankan bila menginginkan keberhasilan dalam beraktivitas (bekerja atau berorganisasi). Jadi kecerdasan emosional dapat diperbaiki dengan menerapkan etika protestan (yang kebanyakan agama mengajarkannya) dalam kehidupan sehari-hari atau dengan kata lain orang yang melaksanakan ajaran agamanya (yang mengandung unsur-unsur etika protestan) akan memiliki kecerdasan emosional yang baik. B. Pentingnya Kecerdasan Emosional Menurut Joan Beck, kecerdasan intelektual atau IQ pada usia anak kurang dari 5 tahun sudah terpenuhi IQ 50 % dan di akhir remaja (kira-kira umur 20 tahun) hanya tinggal 20 % lagi dari IQ yang bisa ditingkatkan. Sedangkan kecerdasan emosional atau EQ BISA DITINGKATKAN SEPANJANG MASA. Menurut Patricia Patton (2002) Cara mengelola emosi sebagai berikut: 1) belajar mengidentifikasikan apa yang biasa memicu emosi kita dan respon apa yang kita berikan dengan demikian kita mengetahui apa yang seharusnya dirubah, 2) belajar dari kesalahan sehingga mengetahui yang mana yang mau diperbaiki, 3) belajar membedakan segala hal yang terjadi di sekitar kita maka diketahui mana yang memmberikan pengaruh dan mana yang yang tak berpengaruh sehingga batin kita tenang, 4) belajar untuk mempertanggungjawabkan setiap tindakan kita, 5) belajar untuk mencari kebenaran, 6) belajar untuk memanfaatkan waktu secara maksimal, 7) belajar untuk menggunakan kekuatan sekaligus kerendahan hati dan tidak merendahkan orang lain. Menurut Taufik Bahanudin (2001) cara mengelola emosi dengan: 1) melakukan tindakan yang bersifat humor yang menyegarkan, 2) mengarahkan kembali energi emosi yang bergolak, 3) berusaha mengambil isterahat atau penyenangan diri. Sehingga terhadap orang lain tindakan kita:1) jangan runtuhkan kerja anggota tim/teman/bawahan dengan mengabaikan prestasi mereka, 2) jangan menggunakan intimidasi untuk meningkatkan semangat teman/bawahan, 3) jangan gunakan konsultan dari luar untuk menjatuhkan teman/bawahan, 4) jangan berusaha memberikan pelayanan dengan mengabaikan cara orang lain (sok hebat atau ambil muka), 5) jangan ciptakan harapan yang tak realistis dengan orang lain, 6) jangan meminta melebihi dari apa yang anda bisa berikan kepada orang lain, 7) jangan memanipulasi atau memaksakan agar orang lain patuh, dan 8) jangan ingkar janji. Cara Mengembangkan Diri agar Menjadi Efektif Menurut Jill Daan (2002) melakukan: 1) pengaturan diri, Mengontrol implus yang produktif, tenang, berpikir positif, tidak bingung menghadapi masalah, mengelola emosi yang menyusahkan, mengurangi rasa cemas, berpikir tenang dan focus, 2) keaslian, jujur pada diri sendiri dan orang lain, percaya diri, berlaku etis, mengakui kekurangan, menerapkan nilai-nilai keluhuran dan mengantisipasi kesalahan yang sering terjadi., 3) kehandalan, menerima tanggung jawab dan menghargai prestasi/kinerja orang lain, 4) fleksibilitas, memahami dan adaptif terhadap perubahan, 5) memotivasi diri sendiri sehingga terus bersemangat. Kembangkan Nilai-Nilai Keutamaan Jika kita mencari dasar yang lebih mendalam atas sikap dan perlakuan yang berbeda-beda itu, maka kita akan memasuki wilayah teori etika. Kita mencari fundamen rasional atas penilaian kita itu. Tentu saja, kalau berbicara tentang “perbuatan yang baik”, yang kita maksudkan adalah baik dari sudut moral, bukan dari sudut teknis atau sebagainya. Bisa saja, menurut segi teknisnya suatu perbuatan adalah baik sekali, walaupun dari segi moral perbuatan itu justru buruk dan karena itu harus ditolak. Teori-teori Etika selain Teori Keutamaan yang menjadi pokok bahasan tulisan ini, kita mengenal juga teori utilitarisme, teori deontologi dan teori hak yang dijelaskan secara secara singkat. Teori Utilitarisme berasal dari kata latin utilis yang berarti “bermanfaat”. Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat secara keseluruhan. Jadi utilitarisme ini tidak boleh dimengerti dengan cara egois saja. Perbuatan yang sempat mengakibatkan paling banyak orang merasa senang dan puas adalah perbuatan yang terbaik. Teori Deontologi yang setidak-tidaknya dengan implisit sudah diterima dalam konteks agama, sekarang merupakan juga salah satu teori etika yang terpenting. Yang memberi pendasaran filosofis kepada teori deontologi adalah filsuf besar dari Jerman, Immanuel Kant (1724 -1804). Mengapa suatu perbuatan disebut baik? Menurut Kant, suatu perbuatan adalah baik, jika dilakukan karena harus dilakukan atau dengan kata lain jika dilakukan karena kewajiban. Kant mengatakan juga; suatu perbuatan adalah baik, jika dilakukan berdasarkan “imperative katagoris”. Teori Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena itu teori hak sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis. Entah menjadi raja, atau lahir sebagai bangsawan, atau termasuk rakyat biasa, martabatnya selalu sama. Menurut teori hak, perbuatan adalah baik, jika sesuai dengan hak manusia. Semua teori ini didasarkan pada prinsip (rule based). Di samping teori-teori yang disebutkan diatas, mungkin lagi suatu pendekatan lain yang tidak menyoroti perbuatan, tetapi memfokuskan pada seluruh manusia sebagai pelaku moral. Tidak ditanyakan :”what should he/she do?, melainkan: “what kind of person should he/she be?”. Teori yang dimaksud adalah teori keutamaan. Teori keutamaan (virtue) ini akan memandang sikap dan ahlak seseorang. Tidak ditanyakan apakah suatu perbuatan tertentu adil, atau jujur atau murah hati melainkan apakah orang itu bersikap adil, jujur dan murah hati dan sebagainya. Dalam etika dewasa ini terdapat minat khusus untuk teori keutamaan sebagai reaksi atas teori-teori etika sebelumnya yang terlalu berat sebelah dalam mengukur perbuatan dengan prinsip atau norma. Namun demikian, dalam sejarah etika teori tidak merupakan sesuatu yang baru. Sebaliknya, teori ini mempunyai suatu tradisi lama yang sudah mulai pada waktu filsafat Yunani kuno. Dalam hal ini tokoh besar yang masih dikagumi sekarang, adalah Aristoteles (384-322 SM). Teori keutamaan sekarang untuk sebagaian besar menghidupkan kembali pemikiran Aristoteles. Kadang-kadang virtue diterjemahkan sebagai “kebajikan” atau “kesalehan”. Tetapi terjemahan lebih baik dalam bahasa Indonesia adalah “keutamaan”, karena terjemahan itulah paling dekat dengan kata arete yang dipakai Aristoteles dan seluruh tradisi filsafat Yunani. Keutamaan bisa didefinisikan sebagai berikut : “disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral.” Kebijakan, misalnya merupakan suatu keutamaan yang membuat seseorang mengambil keputusan tepat dalam setiap situasi. Keadilan adalah keutamaan lain yang membuat seseorang selalu memberikan kepada sesama apa menjadi haknya. Kerendahan hati adalah keutamaan yang membuat seseorang tidak menonjolkan diri, sekalipun situasi mengizinkan. Suka bekerja keras adalah keutamaan yang membuat seseorang mengatasi kecendrungan spontan untuk bermalas-malasan. Ada banyak keutamaan semacam ini. Seseorang adalah orang yang baik jika memiliki keutamaan. Hidup yang baik adalah hidup menurut keutamaan. Hidup yang baik adalah virtuous life, hidup keutamaan.Keutamaan tidak boleh dibatasi pada taraf pribadi saja, tetapi selalu harus ditempatkan dalam konteks komuniter. Hal itu sudah digaris bawahi dengan tekanan besar dalam pemikiran moral Aristoteles. Menurut pemikir Yunani ini, hidup etis hanya mungkin dalam polis, dalam negara-negara yunani waktu itu. Manusia adalah “mahluk politik”, dalam arti: tidak bisa dilepaskan dari polis dan komunitasnya. Karena itu, bagi Aristoteles kepentingan pribadi tidak boleh dipertentangkan dengan kemaslahatan komunitas (the common good), Ini sebenarnya menjadi alasan utama mengapa ia menolak krematisik sebagai tidak etis. Dipandang dalam perspektif komunitas, bagi Aristoteles kremastistik sama dengan keserakahan. Untuk sebagian, keutamaan dari Aristoteles tidak dianggap relevan lagi bagi orang modern, dan untuk sebagian lain, keutamaan modern belum tercantum dalam daftar Aristoteles. Lagi pula, aspek komuniter itu menandai juga situasi kita. Keutamaan dalam komunitas Jepang tidak sama dengan keutamaan dalam komunitas Amerika Utara. Dalam Zaman kita pun keutamaan ditandai oleh situasi dan kebudayaan setempat. Diantara keutamaan yang harus menandai perilaku perorangan dalam segala aktivitasnya seperti bekerja, berbisnis, berorganisasi, bergaul dll bisa disebut: kejujuran , fairness, kepercayaan, dan keuletan. Keempat keutamaan ini terkait erat satu sama lain dan kadang-kadang malah ada tumpang tindih diantaranya. Kejujuran secara umum diakui sebagai keutamaan pertama dan paling penting yang harus dimiliki pebisnis. Orang yang mempunyai keutamaan kejujuran tidak akan berbohong atau menipu dalam pekerjaan yang dilakukan. Walaupun sebenarnya penipuan itu gampang. Ketiga keutamaan lain bisa dibicarakan dengan lebih singkat Keutamaan kedua adalah fairness. Kata inggris ini sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kerap kali diberi terjemahan “keadilan” dan memang fairness dekat dengan paham “keadilan” tapi tidak sama juga. Barangkali terjemahan yang tidak terlalu meleset adalah sikap wajar. Fairness adalah kesediaan untuk memberi apa yang wajar kepada semua orang dan dengan “wajar” dimaksudkan apa yang bisa disetujui oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu pekerjaan yang dilakukan. Kepercayan (trust) juga adalah keutamaan yang penting dalam konteks bekerja/berorganisasi atau berbisnis. Kepercayaan harus ditempatkan dalam relasi timbal balik. Pebisnis yang memiliki keutamaan ini boleh mengandaikan bahwa mitranya mempunyai keutamaan yang sama. Ia bertolak dari pengandaian bahwa mitranya pantas diberi kepercayaan atau bersifat bonafide, sebagaiman ia sendiri bonafide juga terhadap mereka. Pebisnis yang memiliki kepercayaan bersedia untuk menerima mitranya sebagai orang yang bisa diandalkan. Hal ini sering mendesak, karena dalam dunia bisnis kerap kali terdapat jarak waktu atau jarak tempat antara satu langkah bisnis dan langkah berikutnya. Keutamaan keempat adalah keuletan (Solomon menggunakan kata toughness). Pekerja harus bertahan dalam banyak situasi yang sulit. Ia harus sanggup mengadakan negosiasi yang terkadang seru tentang proyek atau transaksi yang bernilai besar. Ia harus berani juga mengambil resiko kecil ataupun besar, karena perkembangan banyak faktor tidak bisa diramalkan sebelumnya. Keuletan dalam organisasi/bisnis itu cukup dekat dengan keutamaan lebih umum yang disebut “keberanian moral”. Keutamaan sebenarnya lebih cocok untuk digambarkan secara konkret dari pada diuraikan pada taraf teoritis. Dalam filsafat dewasa ini dikenal pendekatan yang disbut “naratif”. Artinya, keberanian filosofis yang mau dibicarakan, tidak diuraikan secara teoritis, melainkan dikisahkan dalam suatu contoh atau kasus konkret. Keutamaan termasuk topik yang hampir secara alami mengundang pendekatan naratif. Kita mengert apa maksudnya keutamaan secara paling baik, bilamana bisa berjumpa dengan figur pebisnis/organisatoris yang benar-benar mempraktekan keutamaan. Kejujuran-Keadilan-Kepercayaan dan Keuletan harus dimiliki oleh seseorang kalau ingin mencapai apa yang ia diharapkan. Nilai-nilai Etika moral ini akan teruji dan terbukti dalam tingkah laku/perbuatan orang sehari-hari. Kira-kira seperti ini pemikiran yang dapat disumbangkan kepada teman-teman barangkali ada yang bisa memetik manfaatnya dan dengan segala kerendahan hati memohon kritik dan saran yang membangun dari pembaca karena dengan penuh kesadaran pula mengakui tulisan ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, semoga sukses selalu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KAJIAN KESALAHAN BAHASA DALAM SURAT DINAS SD KARANGNONGKO 2 KECAMATAN KEBONAGUNG KABUPATEN PACITAN TAHUN AJARAN 2013/2014 Sri Amini, Dosen Pembimbing Agoes Hendriyanto, M.Pd

PERSEPSI UJARAN

KISI-KISI UAS LINGUISTIK TERAPAN 2015/2016 AGOES